27 Juni 2009
Hati-hati Dengan Ucapan
0 komentar Diposting oleh SMP POMOSDA, Manifestasi generasi Arifun Billah di 11.03 Ada seorang pria, sudah puluhan tahun tidak pernah melakukan hal yang rumit. Alasannya karena dia merasa jari-jarinya kikuk karena ukurannya pendek-pendek. Dia adalah tipe orang yang memiliki jari pendek-pendek. Dia merasa kalau tidak akan pernah terampil seperti orang lain karena jarinya yang seperti itu. Keyakinan ini dimulai saat orang tuanya mengatakan kalau dia tidak akan pernah terampil. Begitu juga dengan istrinya setelah dia menikah. Istrinya bahkan harus membayar orang hanya untuk memasang sangkar burung di rumahnya.
Hal ini terjadi selama puluhan tahun. Bayangkan mulai dia lahir sampai dia menikah, dia tidak pernah mengerjakan sesuatu yang rumit. Bahkan dia dikenal sebagai seorang yang justru suka merusak barang-barang yang ada di rumah. Saat berhubungan dengan pekerjaan tangan, dia hanya menjadi bahan ejekan dan bahan tertawaan keluarga dan teman-temannya.
Sampai suatu saat, dia bertemu dengan salah seorang ahli pengembangan diri. Kemudian dia diajarkan suatu teknik* tertentu. Setelah beberapa bulan kemudian, dia datang kepada ahli pengembangan diri tersebut dengan membawa sebuah miniatur kapal yang sangat rumit. Dia memberikannya sebagai hadiah kepada ahli pengembangan diri yang telah membuka suatu “hambatan” yang menghambat dia berkarya selama puluhan tahun. Miniatur kapal yang sangat rumit itu dibuat sendiri oleh pria itu.
Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah nyata diatas:
Jika Anda tidak bisa saat ini, bukan berarti tidak bisa selamanya.
Sering kali yang yang membuat kita tetap tidak bisa adalah masalah mental.
Perkataan, terutama dari orang yang memiliki otoritas sangat mempengerahui seseorang. Jadi hati-hati dengan perkataan Anda baik terhadap teman, keluarga, maupun diri sendiri.
Sayangnya, yang sering terjadi justru banyak orang yang perkataannya menghancurkan kepercayaan diri orang lain:
Saat orang lain berhasil atau berprestasi, yang dilihat malah kekurangannya. “Bagus sich, tapi…”
Atau menunjukan ketidak percayaannya. Misalnya saat seorang anak berhasil mendapatkan uang dari berdagang, orang tuanya bertanya, “Kamu mencuri uang dari mana?”
Justru, saat orang lain melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan, dia memperkuatnya dengan mengatakan, “Kamu memang tidak becus!”
Please, terutama kepada anak Anda, dimana Anda memiliki otoritas tinggi, perkataan Anda bisa membentuk mental anak Anda. Hati-hati dengan ucapan.
Hal ini terjadi selama puluhan tahun. Bayangkan mulai dia lahir sampai dia menikah, dia tidak pernah mengerjakan sesuatu yang rumit. Bahkan dia dikenal sebagai seorang yang justru suka merusak barang-barang yang ada di rumah. Saat berhubungan dengan pekerjaan tangan, dia hanya menjadi bahan ejekan dan bahan tertawaan keluarga dan teman-temannya.
Sampai suatu saat, dia bertemu dengan salah seorang ahli pengembangan diri. Kemudian dia diajarkan suatu teknik* tertentu. Setelah beberapa bulan kemudian, dia datang kepada ahli pengembangan diri tersebut dengan membawa sebuah miniatur kapal yang sangat rumit. Dia memberikannya sebagai hadiah kepada ahli pengembangan diri yang telah membuka suatu “hambatan” yang menghambat dia berkarya selama puluhan tahun. Miniatur kapal yang sangat rumit itu dibuat sendiri oleh pria itu.
Ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah nyata diatas:
Jika Anda tidak bisa saat ini, bukan berarti tidak bisa selamanya.
Sering kali yang yang membuat kita tetap tidak bisa adalah masalah mental.
Perkataan, terutama dari orang yang memiliki otoritas sangat mempengerahui seseorang. Jadi hati-hati dengan perkataan Anda baik terhadap teman, keluarga, maupun diri sendiri.
Sayangnya, yang sering terjadi justru banyak orang yang perkataannya menghancurkan kepercayaan diri orang lain:
Saat orang lain berhasil atau berprestasi, yang dilihat malah kekurangannya. “Bagus sich, tapi…”
Atau menunjukan ketidak percayaannya. Misalnya saat seorang anak berhasil mendapatkan uang dari berdagang, orang tuanya bertanya, “Kamu mencuri uang dari mana?”
Justru, saat orang lain melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan, dia memperkuatnya dengan mengatakan, “Kamu memang tidak becus!”
Please, terutama kepada anak Anda, dimana Anda memiliki otoritas tinggi, perkataan Anda bisa membentuk mental anak Anda. Hati-hati dengan ucapan.
Orang Baik Mati Muda
0 komentar Diposting oleh SMP POMOSDA, Manifestasi generasi Arifun Billah di 11.00 Saya punya saudara yang baik sekali. Beliau mati muda. Saya juga masih punya saudara yang juga sangat baik. Beliau juga mati mati muda.
Apakah benar ungkapan “orang baik mati muda”?
Kemarin saya mendapat pelajaran bahwa pahlawan gugur di medan perang. Yang menjadi pejabat, pada akhirnya, adalah dia yang bersembunyi ketika terjadi peperangan. Sehingga dia selamat. Usai perang, ia menjadi penguasa bahkan bisa menjadi presiden, katanya.
Apakah benar begitu?
Saya tertegun, setengah tidak percaya bahwa salah satu temanku meninggal 6 bulan lalu. Kami memang jarang bertemu. Tadi pagi, saya dengan keluarga berkunjung ke rumah temanku itu. Ditemui oleh istri dan anaknya dan menceritakan bahwa suaminya telah meninggal.
Innalilahi…
Semoga arwahnya diterima dan diridloi Allah SWT. Segala dosa memperoleh ampunanNya dan segala amal memperoleh balasan yang berlipat ganda…AMIN.
Saya tahu teman saya itu baik. Saya tahu dia masih muda. Sehingga saya ingat ungkapan orang baik mati muda.
Repotnya lagi, saya juga selalu berusaha untuk jadi orang baik. Apakah juga akan mati muda – ah…itu kan takdir!
Untungnya, saya tidak selalu berhasil untuk menjadi selalu baik. Jadi masih punya peluang untuk berumur panjang. Semoga sehat, barokah, dan bermanfaat bagi sesama..
Bila saya amati teman-teman yang aktif di APIQ, mereka hampir semuanya selalu berusaha untuk menjadi baik. Jadi saya berkepentingan untuk mengetahui bagaimana tetap menjadi orang baik dan berumur panjang.
Apakah ada yang punya pengalaman?
Analasis saya adalah cukup beralasan bila orang baik itu mati muda. Mengapa?
1. Ketika orang baik mati muda, banyak orang merasa kehilangan. Jadi masyarakat akan mudah mengenangnya. Sedangkan bila orang jahat mati muda, bagi masyarakat tidak terlalu berarti. Sehingga tidak menjadi perhatian masyarakat.
2. Orang baik sering ikhlas menanggung beban atau risiko demi kebaikan bersama. Bila hal ini sering terjadi, tentu saja peluang orang baik mati muda menjadi lebih besar.
3. Orang baik sering merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan masyarakat. Setiap ada masalah di masyarakat, ia merasa ikut bertanggung jawab atas masalah itu. Bagaimana pun rasa tanggung jawab ini dapat saja menjadi beban tersendiri.
Jadi…apakah ada yang ingin menjadi orang baik?
Mengapa tidak?
Mati muda atau mati tua toh kematian pasti akan datang…!
Tapi ngomong-ngomong, saya masih punya banyak PR yang belum saya rampungkan.
Bagaimana menurut Anda?
Salam hangat…
Apakah benar ungkapan “orang baik mati muda”?
Kemarin saya mendapat pelajaran bahwa pahlawan gugur di medan perang. Yang menjadi pejabat, pada akhirnya, adalah dia yang bersembunyi ketika terjadi peperangan. Sehingga dia selamat. Usai perang, ia menjadi penguasa bahkan bisa menjadi presiden, katanya.
Apakah benar begitu?
Saya tertegun, setengah tidak percaya bahwa salah satu temanku meninggal 6 bulan lalu. Kami memang jarang bertemu. Tadi pagi, saya dengan keluarga berkunjung ke rumah temanku itu. Ditemui oleh istri dan anaknya dan menceritakan bahwa suaminya telah meninggal.
Innalilahi…
Semoga arwahnya diterima dan diridloi Allah SWT. Segala dosa memperoleh ampunanNya dan segala amal memperoleh balasan yang berlipat ganda…AMIN.
Saya tahu teman saya itu baik. Saya tahu dia masih muda. Sehingga saya ingat ungkapan orang baik mati muda.
Repotnya lagi, saya juga selalu berusaha untuk jadi orang baik. Apakah juga akan mati muda – ah…itu kan takdir!
Untungnya, saya tidak selalu berhasil untuk menjadi selalu baik. Jadi masih punya peluang untuk berumur panjang. Semoga sehat, barokah, dan bermanfaat bagi sesama..
Bila saya amati teman-teman yang aktif di APIQ, mereka hampir semuanya selalu berusaha untuk menjadi baik. Jadi saya berkepentingan untuk mengetahui bagaimana tetap menjadi orang baik dan berumur panjang.
Apakah ada yang punya pengalaman?
Analasis saya adalah cukup beralasan bila orang baik itu mati muda. Mengapa?
1. Ketika orang baik mati muda, banyak orang merasa kehilangan. Jadi masyarakat akan mudah mengenangnya. Sedangkan bila orang jahat mati muda, bagi masyarakat tidak terlalu berarti. Sehingga tidak menjadi perhatian masyarakat.
2. Orang baik sering ikhlas menanggung beban atau risiko demi kebaikan bersama. Bila hal ini sering terjadi, tentu saja peluang orang baik mati muda menjadi lebih besar.
3. Orang baik sering merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan masyarakat. Setiap ada masalah di masyarakat, ia merasa ikut bertanggung jawab atas masalah itu. Bagaimana pun rasa tanggung jawab ini dapat saja menjadi beban tersendiri.
Jadi…apakah ada yang ingin menjadi orang baik?
Mengapa tidak?
Mati muda atau mati tua toh kematian pasti akan datang…!
Tapi ngomong-ngomong, saya masih punya banyak PR yang belum saya rampungkan.
Bagaimana menurut Anda?
Salam hangat…
Antara Cacing, Burung & Manusia
0 komentar Diposting oleh SMP POMOSDA, Manifestasi generasi Arifun Billah di 10.52 Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing. Kita lihat burung tiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Tidak terbayang sebelumnya kemana dan dimana ia harus mencari makanan yang diperlukan.
Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya, tapi kadang makanan itu cuma cukup buat keluarganya, sementara ia harus “puasa”. Bahkan seringkali ia pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga ia dan keluarganya harus “berpuasa”. Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya “kantor” yang tetap, apalagi setelah lahannya banyak yang diserobot manusia, namun yang jelas
kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap optimis
akan makanan yang dijanjikan Allah. Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap berkicau dengan merdunya. Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.
Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati.Tapi kita lihat , dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari makan. Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan epalanya ke batu.
Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih. Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing ? Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri menghadapi kesulitan yang dihadapi? Padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing yang berusaha bunuh diri karena putus asa. Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar banyak dari burung dan cacing.
Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya, tapi kadang makanan itu cuma cukup buat keluarganya, sementara ia harus “puasa”. Bahkan seringkali ia pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga ia dan keluarganya harus “berpuasa”. Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya “kantor” yang tetap, apalagi setelah lahannya banyak yang diserobot manusia, namun yang jelas
kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap optimis
akan makanan yang dijanjikan Allah. Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap berkicau dengan merdunya. Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.
Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati.Tapi kita lihat , dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari makan. Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan epalanya ke batu.
Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih. Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing ? Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri menghadapi kesulitan yang dihadapi? Padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing yang berusaha bunuh diri karena putus asa. Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar banyak dari burung dan cacing.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)